Opening

Rabu, 10 April 2013

Perihal Kebenaran


Secara umum definisi yang standar mengenai kebenaran diartikan sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan. Dalam aliran Pragmatisme, John Dewey ( Gallaher,2005:123) menyebutkan bahwa yang dimaksud ‘Kebenaran adalah apa yang membawa hasil’. Suatu pertimbangan itu dikatakan “Benar”, jika telah mencapai hasil yang berguna. Sebaliknya, pertimbangan itu ‘Salah’ jika dengannya dihasilkan hal yang merugikan.
Pada umumnya ada beberapa teori kebenaran, yaitu kebenaran saling berhubungan, kebenaran
saling berkesesuaian, dan kebenaran inherensi (Sudarsono:2001: 146). Pertama, teori kebenaran saling berhubungan (coherence theoryof truth),berpendapat bahwa suatu proposisi itu benar apabila hal tersebut mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proporsi yang telah ada atau benar. Dengan kata lain, apabila proposisi itu mempunyai hubungan dengan prosisi yang terdahulu yang benar. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat melalui fakta sejarah dalam logika. Pembuktian melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah, sedangkan pembuktian melalui logika apabila merupakan pernyataan-pernyataan yang bersifat logis.
Kedua, Teori kebenaran saling berkesesuaian (correspondence theory of truth), berpandangan bahwa suatu proposisi itu bernilai benar apabila proposisi itu salinmg berkesesuaian dengan kenyataan dan realitas. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan.
Ketiga, Teori kebenaran Inherensi (Inherent theory of truth), yang memiliki pandangan bahwa suatu proposisi memiliki nilai kebenaran apabila memiliki akibat atau konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat, maksudnya ialah hal tersebut dapat dipergunakan.
Perihal kebenaran ini memang menjadi tujuan utama dari kajian ilmu filsafat ini. Para filosof telah lama mengupayakan dan mencari kebenaran. Menurut Plato, kebenaran yang utama adalah yang di uar dunia ini. Maksudnya ialah suatu kesempurnaan tidak dapat dicapai di dunia ini.
Berbeda dengan Plato, Rene Descartes, Filosof yang hidup pada abad 17, menegaskan bahwa yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah. Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu tidak dapat didapatkan dari apa yang berada di luar kita. Apa yang kita duga kita lihat dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat di dalam rasio atau akal. Pengetahuan melalui indera adalah kabur. Oleh karena itu, menurut Descartes, kita harus merugikan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Semuanya itu harus dengan sadar kita pandang sebagai tidak pasti, karena segala sesuatu yang telah diperoleh di dalam kesadaran, semuanya itu tidak mungkin sekali adalah hasil khayalan atau hasil tipuan roh jahat.
Pada abad ke-20, seorang filosof yang bernama William James (1842-1910), yang terkenal dengan aliran pragmatismenya, menjelaskan perihal kebenaran ini sebagaimana ditulis dalam bukunya, ‘The meaning of truth’ ( Arti Kebenaran ). James menjelaskan bahwa tiada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas daripada akal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar