Pada garis besarnya pengertian pemujaan mencakup dua aspek,
yaitu antara yang memuja dan yang dipuja. Dalam
hal puja memuja, dapat digolongkan menjadi beberapa bagian yakni:
1.
Puja memuja antar
sesama manusia
Pada
hematnya manusia memuja manusia lainnya disebabkan oleh beberapa faktor. Antara
lain pemujaan yang berkaitan dengan perasaan jatuh cinta hingga menyebabkan
terjadi
perubahan sikap, perilaku, tutur kata, dan hal-hal yang menimbulkan
perubahan itu sebagaimana layaknya jatuh cinta.
Di
sisi lain, ungkapan perasaan jatuh cinta biasanya terlontar melalui pengabdian
pada pahatan, patung, ukiran puisi, lagu-lagu, salam sayang via radam dan
berbagai bentuk pernyataan tentang jatuh cinta yang semuanya terhimpun di dalam
lingkup pemujaan. Bahkan dengan kata pemujaan, Adolf Hitler harus bersedia meneguk
racun bersama sang pujaan Eva Braun menjelang akhir pernag dunia II.
Sebagai
pernyataan cinta yang sangat mendalam kepada sang pujaan yang telah meninggal,
maka diabadikan rasa kecintaan kepada istrinya dengan mendirikan Taj Mahal di
India termasuk salah satu dari tujuh keabadian dunia. Konon kabarnya bangunan
Taj Mahal dihiasi dengan ± 100.000 butir berlian.
Kisah
romeo dan juliet juga merupakan bagian dari refleksi cinta yang berjuang pada
pemujaan. Pemujaan yang berkaitan dengan idola, dikagumi, dipuja-puja,
diagung-agungkan, menjadikan seseorang harus mempertaruhkan segala sesuatu demi
yang dipuja.
Hal demikian nampak pada bidang
ideologi dan politik misalnya; antara lain fanatisme rakyat Jepang terhadap
Teno Haika (pasca perang dunia II).
Musollini dengan fasisme yang sangat dipuja oleh sebagian rakyat italia,
Nazizme dengan Adolf Hitler sebagai gembongnya sangat dipuja oleh para
pengikutnya.
Di bidang seni, pemujaan terhadap
seorang seniman pun tak kalah pentingnya. Karena fanatisnya pengagum John Lenon
(lagunya Imagine of the people’s), maka tak segan-segan sipemuja harus menembak
mati penyanyi tersebut. Elvis Preisley sangat di kagumi dan di puja-puja oleh
para pengikutnya. Walaupun telah lama meninggal, namun rasa pemujaan terhadap
dirinya tetap hidup melalui lagu-lagunya yang pernah populer.
Di bidang kepemimpinan dan
pemerintahan, tengoklah negara Libya dengan Muammar (revolusi Iran) menjatuhkan
kepemimpinan Reza Pahlevi, Mao Tse Tung di RRC (berbaur dengan faham komunis),
Ho Chin Min di Vietnam, Fideal Castro di Cuba. Kesemuanya inilah
keunggulan-keunggulan tipe kharismatik dalam kepemimpinan dan pemerintahan,
baik yang lebih di dominasi oleh faham, ideologi, serta aliran juga yang
dilandasi oleh keyakinan dalam kefanitikan yang dogmatis.
Kesemuanya menyatu dalam suatu kerangka
pengangguran yang bernuansa pada pemujaan tanpa memperhitungkan batas waktu
berakhirnya kejayaan yang dipuja.
2.
Manusia memuja alam
Manusia
memuja alam mengandung dua hal di dalamnya: pertama alam dipuja oleh manusia
dengan maksud agar alam bersikap ramah dan bersahabat. Alam ditempatkan sebagai
suatu bagian dengan diri manusia. Alam yang memiliki dua kekuatan kesejaga dan
(siang dan malam) juga memiliki empat potensi alamiah (tanah, air, api, dan
angin) eksistensinya dijabarkan kedalam satu metafora simbolis yang terwakilkan
di dalam diri manusia.
Agar
alam dapat bersahabat, maka diperlakukan pemujaan oleh manusia melalui
perbuatan ritual. Kadar ritualnya senantiasa di tentukan oleh kesempurnaan
dalam satu cara pemujaan, lengkap dengan peralatan yang berfungsi sebagai
simbol. Setiap simbol selalu mewakili berbagai aspek dari aktifitas tingkah
laku manusia.
Dalam
hal pemujaan terhadap alam, tidak hanya terbatas pada kalangan masyarakat sederhana, akan tetapi mencakup seluruh
kelompok manusia. Semboyan “back to nature” (kembali ke alam bebas) merupakan
suatu pernyataan kalangan masyarakat modern yang berusaha agar selalu
bersahabat dengan alam. Walaupun semboyan tersebut tidak langsung sebagai suatu
pemujaan kepada alam, namun dari segi pengagumannya sekelompok dari masyarakat
modern itu beralih kembali memilih hidup di gua-gua layaknya seperti manusia
purba.
Walaupun
demikian alam tak pernah mengingkari janji setelah ditaklukkan, dikurasi,
dikuasai, digarap habis-habisan. Alam beraksi menjatuhkan sanksi dengan
berbagai bentuk (banjir, gunung meletus, tanah longsor, gempa) dan tinggalah
manusia meratapi nasibnya. Lahirlah ciptaan berupa hymne-hymne didengarkan
dalam tema antara pemujaan dan penyesalan silih berganti, namun alam tetap
berjaya di dalam kesejagadannya.
3.
Manusia memuja benda
Pada
hakekatnya benda (materi) sangat di butuhkan dalam kehidupan manusia, sepanjang
benda itu bukan merupakan tujuan akhir. Pemujaan manusia terhadap benda secara
berlebihan pasti akan mengundang kamelut. Karena benda beralih fungsi dari
peranannya sebagai alat perpaduan hidup berubah menjadi sesuatu yang dipuja dan
dipertuhan selama masih mampu untuk mengakumulirnya.
Daya
pengakumulasi benda yang dipuja dan dipertuan sehingga melampaui batas nilai
harga diri dan keyakinan niscaya akan melahirkan konsepsi yang bermuara pada:
a.
Hilangnya martabat dan
hak azasi akibat penilaian terhadap manusia lainnya tidak lebih dari
seperangkat organ jasad yang dapat saja di campurkan bila tak berguna.
b.
Munculnya
perlakuan-perlakuan bercorak eksploitasi dan penindasan terhadap sesama dengan
landasannya tujuh menghalalkan segala cara. Dalam hal ini sosok sesama manusia
di anggap sebagai kelompok human yang sewaktu-waktu tak berfungsi dapat di
binasakan.
c.
Dalam konteks
sosialisasi interaksi sosial akan tumbuh kecemburuan dan pertentangan kelas,
persaingan pemutusan hubungan relasi-relasi sosial, ketersaingan kecurigaan
yang pada gilirannya berakhir dengan konflik.
Hal-hal
yang disebutkan diatas hanya menyebutkan sebagian dari reaksi yang timbul
akibat sangat berlebihannya pemujaan terhadap benda. Terjerumuslah manusia ke
dalam kehidupan materialistik yang membentuk suatu faham yang disebut
materialisme.
Dari
pengertian tentang materialisme (bukan pendapat sang guru besar tersebut)
jelaslah terdapat pertentangan yang sangat prinsipil. Dalam hal ini keberadaan
segala sesuatu termasuk manusia semuanya adalah materi, kejasmanian. Apa yang
disebut rohani, perasaan, kasih sayang, timbang rasa, harga diri, keyakinan, agama,
dan sebagainya oleh penganut, materialisme di anggap tidak ada. Yang ada
hanyalah materi atau benda.
Jika
demikian halnya maka manusia berada pada ambang kehancuran, kehilangan
identitas diri, dan berakhir dengan tidak punya arti apa-apa. Yang tertinggal
hanyalah cara-cara pemuja benda, penganut materialisme yang tercatat dalam
sejarah peradaban manusia, tak segan-segan dan tak punya peri kemanusiaan
menghancurkan lawan-lawannya.
4.
Manusia memuja dewa
Hal
ini mtermasuk dalam lingkup keyakinan berkepercayaan (khususnya agama-agama
samawi). Namun demikian keyakinan berkepercayaan seperti itu tak perlu diganggu
gugat, bahkan sebaliknya harus di hargai karena keyakinan berkepercyaan
sebagaimana di maksud adalah milik orang lain.
Dikalangan
masyarakat India pemujaan terhadap dewa dikaitkan dengan sistem kasta, sehingga
menyebabkan timbulnya strata sosial yang terbagi-bagi dalam penggolongan. Untuk
itu, perlu dipahami penggolongan kelompok masyarakat di India berdasarkan
sistem kasta, berbeda dengan sistem kelas-kelas dalam masyarakat ciptaan Karl
Marx.
Penggolongan
yang dimaksud lebih di tekankan pada keyakinan penganut terhadap salah satu
dari tingkatan dewa yang terpilih untuk diyakini (brahmana, wisnu, siwa, waisa
dan sudra). Terbagi-bagilah masyarakat dalam kelompok yang menempatkannya pada
posisi sesuai tingkatan kedewaan untuk dipuja. Masing-masing tingkat kedewaan
memiliki ciri tersendiri sehingga mempengaruhi tatanan kehidupan pada lingkup
strata sosisal dalam hubungan kekerabatan.
Beberapa
kelompok masyarakat tertentu diluar India, pemujaan terhadap dewa-dewa selalu
di hubungkan atau berhubungan dengan dunia roh. Walaupun antara dewa dan roh
kedua-duanya adalah abstrak, namun kepercayaan meyakini keberdaannya tak dapat
di pungkiri. Dalam konteks pemujaan, dewa-dewa dipuja sekaligus di tempatkan
pada posisi sebagai sumber ajaran-ajaran hidup untuk selanjutnya di terima dan
diyakini dalam bentuk agama.
Dunia
roh dipuja lengkap dengan sesajen, mantra-mantra, persembahan berskala
ritualitas, untuk selanjutnya dipadukan dalam kehidupan dan diyakini sebagai
religi (kepercayaan). Dalam perjalanan hidup manusia, pemujaan terhadap
dewa-dewa dan dunia roh merupakan serangkaian tata perilaku yang berpola. Hal
demikian dimaksudkan sebagai perwujudan dari sistem pengaturan dalam cara
teknis pemujaan yang di kontrol oleh nilai di dalam norma-norma tertentu khusus
berkaitan dengan hal tersebut.
Itulah
sebabnya terdapat perbedaan antara tata perikaku yang dikondisikan dengan cara
dan tekhnis pemujaan terhadap dewa-dewa dan dunia roh, dibanding dengan
aktifitas tingkah laku sehari-hari.
5.
Manusia memuja Tuhan
Yang Maha Esa
Pemujaan manusia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa pelaksanaannya berbeda-beda sesuai dengan agama
yang diyakini oleh setiap kelompok masyarakat. Dikalangan masyarakat yang
beragama islam khususnya, pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diatur
berdasarkan dengan syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan diperjelas teknis
serta cara pelaksanaannya melalui hadits Rasulullah. Bahkan dengan kekhususan
pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dan semata-mata untuk dipuji
hanya Allah.
Dalam hal pemujaan
manusia kepada tuhan yang Maha Esa, pada hematnya mengalami pasang surut. Hal
ini dibuktikan oleh kebiasaan manusia yakni dia mengalami kesusahan baru memuja
Tuhan. Sebaiknya, bila dalam kesenangan, Tuhan dilupakan untuk dipuja.
Menelusuri jauh tentangg pemujaan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
ditempulah berbagai cara yang menghasilkan lahirnya sekte-sekte. Setiap sekte
mempunyai aturannya tersendiri dan biasanya membentuk organisasi keagamaan.
Sesuai dengan program yang digariskan oleh masing-masing sekte.
Sebagai suatu fenomena
bersifat sosio-religius pemujaan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa selalu berkaitan
dengan berbagai aspek kehidupan. Baik menyangkut keselamatan, kebahagiaan,
kesehatan, dijauhkan dari segala bencana, kemakmuran, mampun yang berkenaan
dengan rejeki, perluasan usaha, jodoh, ketentraman hidup, termasuk mendapatkan
anak pelanjut keturunan, dan sebagainya.
Refleksi dari pemujaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan tuntutan yang dihajatkan seperti
disebutkan perwujudannya dalam berbagai bentuk ritus keagamaan. Bentuk-bentuk
ritus yang beranekaragam itu berfungsi sebagai wahana dalam menyampaikan segala
yang dinginkan melalui pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian
pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dikalangan masyarakat muslim adalah
melalui ibadah wajib maupun sunat. Selain itu, semua ibadah wajib maupun sunat
bukan merupakan perbuatan ritual. Misalnya, kegiatan ibadah seperti shalat,
shiam (puasa), zakat, haji/qurban. Seringkali terjadi kekeliruan yang
menganggap bahwa kegiatan-kegiatan ibadah tersebut dapat diartikan sebagai
perbuatan ritual. Untuk itu, perlu dijelaskan tentang perbuatan ritual yang
dilakukan oleh semua kelompok masyarakat.
Kata “ritual” berasal
dari “ritus, rite” yang artinya secara umum, yaitu upacara peralihan,
dilengkapi dengan beragam peralatan upacara (ceremonial equipment), sesajen,
mantera-mantera dan sebagainya. Dengan demikian jelaslah sudah, bahwa di dalam
syariat Islam pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ( dalam hal ini adalah
Allah ) melalui ibadah-ibadah baik yang diwajibkan maupun yang sunat, tidak ada
hubungannya dengan perbuatan ritual atau jelasnya adalah dengan contoh yang sederhana
saja, apakah mungkin ibadah shalat dilaksanakan, dilengkapi dengan sesajen dan
mantera-mantera ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar