Opening

Senin, 20 Januari 2014

Teori Motivasi



                                      I.          Teori-Teori Awal Tentang Motivasi
a.       Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Teori motivasi yang paling dikenal mungkin adalah Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow. Maslow adalah psikolog humanistik yang berpendapat bahwa pada diri tiap orang terdapat hierarki lima kebutuhan.
a)      Kebutuhan fisik: makanan, minuman, tempat tinggal, kepuasan seksual, dan kebutuhan fisik lain.
b)      Kebutuhan keamanan: keamanan dan perlindungan dari gangguan fisik dan emosi, dan juga kepastian bahwa kebutuhan fisik akan terus terpenuhi.
c)      Kebutuhan sosial: kasih sayang, menjadi bagian dari kelompoknya, diterima oleh
teman-teman, dan persahabatan.
d)     Kebutuhan harga diri: faktor harga diri internal, seperti penghargaan diri, otonomi, pencapaian prestasi dan harga diri eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
e)      Kebutuhan aktualisasi diri: pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri; dorongan untuk menjadi apa yang dia mampu capai.
Menurut Maslow, jika ingin memotivasi seseorang kita perlu memahami ditingkat mana keberadaan orang itu dalam hierarki dan perlu berfokus pada pemuasan kebutuhan pada atau diatas tingkat itu (Robbins & Coulter, 2007).
b.      Teori X dan Y McGregor Douglas
McGregor terkenal karena rumusannya tentang dua kelompok asumsi mengenai sifat manusia: Teori X dan Teori Y. Teori X pada dasarnya menyajikan pandangan negatif tentang orang. Teori X berasumsi bahwa para pekerja mempunyai sedikit ambisi untuk maju, tidak menyukai pekerjaan, ingin menghindari tanggung jawab, dan perlu diawasi dengan ketat agar dapat efektif bekerja. Teori Y menawarkan pandangan positif. Teori Y berasumsi bahwa para pekerja dapat berlatih mengarahkan diri, menerima dan secara nyata mencari tanggung jawab, dan menganggap bekerja sebagai kegiatan alami. McGregor yakin bahwa asumsi Teori Y lebih menekankan sifat pekerja sebenarnya dan harus menjadi pedoman bagi praktik manajemen (Robbins & Coulter, 2007.
c.       Teori Motivasi Higienis Herzberg
Teori ini menyatakan bahwa kepuasan dan ketidak-puasan seseorang dipengaruhi oleh dua kelompok faktor independen yakni faktor-faktor penggerakan motivasi dan faktor-faktor pemelihara motivasi. Menurut Herzberg, karyawan memiliki rasa kepuasan kerja dalam pekerjaannya, tetapi faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan berbeda jika dibandingkan dengan faktor-faktor ketidak-puasan kerja. Rasa kepuasan kerja dan rasa ketidak-puasan kerja tidak berada dalam satu kontinum. Lawan dari kepuasan adalah tidak ada kepuasan kerja sedangkan lawan dari ketidakpuasan kerja adalah tidak ada ketidak-puasan kerja (Robbins, 2003).
Faktor-faktor yang merupakan penggerak motivasi (faktor-faktor intrinsik) ialah:
·         Pengakuan (cognition), artinya karyawan memperoleh pengakuan dari pihak perusahaan bahwa ia adalah orang, berprestasi, baik, diberi penghargaan, pujian, dimanusiakan, dan sebagainya.
·         Tanggung jawab (responsibility), artinya karyawan diserahi tanggung jawab dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, tidak hanya semata-mata melaksanakan pekerjaan.
·         Prestasi (achievement), artinya karyawan memperoleh kesempatan untuk mencapai hasil yang baik atau berprestasi.
·         Pertumbuhan dan perkembangan (growth and development), artinya dalam setiap pekerjaan itu ada kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang.
·         Pekerjaan itu sendiri (job it self), artinya memang pekerjaan yang dilakukan itu sesuai dan menyenangkan bagi karyawan. Adapun faktor-faktor pemelihara motivasi (faktor-faktor ekstrinsik) ialah:
                                                                   i.          Gaji (salary) yang diterima karyawan
                                                                 ii.          Kedudukan (status) karyawan
                                                               iii.          Hubungan antar pribadi dengan teman sederajat, atasan atau bawahan
                                                               iv.          Penyeliaan (supervisi) terhadap karyawan
                                                                 v.          Kondisi tempat kerja (working condition)
                                                               vi.          Keselamatan kerja (job safety)
                                                             vii.          Kebijakan dan administrasi perusahaan, khususnya dalam bidang personalia
Menurut Herzberg, meskipun faktor-faktor pendorong motivasi baik keadaannya (menurut penilaian karyawan), tetapi jika faktor-faktor pemeliharaan tidak baik keadaannya, tidak akan menimbulkan kepuasan kerja bagi karyawan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan motivasi dengan cara perbaikan faktor-faktor pemeliharaan, baru kemudian faktor-faktor pendorong motivasi (Robbins, 2003).
                                          II.            Teori Motivasi Modern
1)        Teori Tiga Kebutuhan
David McClelland menyebutkan ada tiga kelompok motivasi kebutuhan yang dimiliki seseorang yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi. Kebutuhan prestasi (achievement) yaitu adanya keinginan untuk mencapai tujuan yang lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini dapat dicapai dengan cara merumuskan tujuan, mendapatkan umpan balik, memberikan tanggung jawab pribadi, dan bekerja keras. Kebutuhan kekuasaan (power) artinya yaitu adanya kebutuhan kekuasaan yang mendorong seseorang bekerja sehingga termotivasi dalam pekerjaannya. Cara bertindak dengan kekuasaan tergantung kepada pengalaman masa kanak-kanak, kepribadian, pengalaman kerja, dan tipe organisasi. Kebutuhan afiliasi artinya kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dapat dicapai dengan cara bekerja sama dengan orag lain, dan sosialisasi (Ishak, dkk, 2003).
2)        Teori Penentuan Sasaran
Teori penentuan sasaran ini menyatakan bahwa orang akan bekerja lebih baik jika mereka mendapatkan umpan balik mengenai sejauh mana mereka maju menuju sasaran, karena umpan balik membantu mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang telah mereka lakukan dan apa yang ingin mereka lakukan. Selain umpan balik, ada tiga faktor lain telah yang mempengaruhi hubungan sasaran-kinerja. Faktor-faktor itu mencakup komitmen pada sasaran, kemampuan diri yang memadai, dan budaya nasional. Teori penentuan sasaran mensyaratkan bahwa individu berkomitmen pada sasaran tadi artinya individu berniat tidak menurunkan atau meninggalkan sasaran tadi. Komitmen sangat cenderung terjadi jika sasaran itu diumumkan, jika individu tersebut mempunyai tempat kendali internal, dan jika sasaran itu ditentukan sendiri, bukan diberikan. Efektifitas diri merujuk ke keyakinan seseorang bahwa ia mampu melaksanakan tugas tertentu. Semakin tinggi efektifitas diri kita, semakin yakin kita kita akan kemampuan berhasil pada tugas tertentu. Jadi dalam situasi-situasi sulit, kami menemukan bahwa orang yang rendah efektivitas dirinya lebih cenderung mengurangi usaha mereka atau sepenuhnya menyerah kalah, sedangkan orang-orang yang tinggi efektifitas dirinya akan berusaha lebih keras, mengatasi tantangan itu (Robbins & Coulter, 2007).
3)        Teori Penguatan
Teori penguatan menunjukkan bagaimana konsekuensi tingkah laku dimasa lampau akan mempengaruhi tindakan dimasa depan dalam proses belajar. Menurut teori penguatan, seseorang akan termotivasi jika dia memberikan respons rangsangan pada pola tingkah laku yang konsisten sepanjang waktu (Nursalam, 2007). Teori penguatan mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi dari akibat. Teori penentuan sasaran menyatakan bahwa maksud individu mengarahkan perilakunya. Teori penguatan mengatakan bahwa perilaku itu ditimbulkan dari luar. Apa yang mengendalikan perilaku adalah penguat, akibat yang bila diberikan dengan segera setelah perilaku tertentu dilakukan, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku tersebut akan diulang (Robbins & Coulter, 2007).
Berlawanan dengan teori penentuan sasaran, kunci teori penguatan ialah mengabaikan faktor-faktor seperti sasaran, harapan, dan kebutuhan. Sebagai gantinya, teori itu hanya memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dengan seseorang ketika ia mengambil tindakan tertentu (Robbins & Coulter, 2007).
Berdasarkan teori penguatan, para manajer dapat mempengaruhi perilaku karyawan dengan memperkuat tindakan yang mereka anggap menguntungkan. Namun, karena penekanan itu terletak pada penguatan positif, bukan hukuman, para manajer seharusnya mengabaikan, bukannya menghukum perilaku yang tidak menguntungkan. Meskipun hukuman lebih cepat menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dibanding tindakan bukan penguatan, dampak hukuman itu sering hanya sementara dan dikemudian hari akan mempunyai efek samping yang tidak menyenangkan, seperti perilaku disfungsi berupa konflik di tempat kerja, ketidakhadiran, dan tingkat keluar masuknya karyawan (Robbins & Coulter, 2007).
4)        Merancang Pekerjaan yang Mampu Memotivasi
Para manajer sangat menaruh minat pada cara memotivasi orang di tempat kerja dan perlu meninjau cara-cara apa saja untuk merancang pekerjaan yang memotivasi. Cara-cara yang dapat digunakan manajer untuk merancang pekerjaan tersebut adalah:
·         Pemekaran pekerjaan
Perancangan pekerjaan secara historis berkonsentrasi pada membuat pekerjaan itu menjadi kecil dan lebih terspesialisai. Salah satu upaya paling awal untuk mengatasi kelemahan spesialisasi adalah pemekaran pekerjaan secara horisontal melalui peningkatan jangkauan pekerjaan (job scopes) jumlah tugas yang berbeda-beda yang diperlukan oleh pekerjaan tertentu dan frekuensi pengulangan tugas-tugas itu.
·         Pengayaan pekerjaan
Pendekatan lain untuk merancang pekerjaan yang memotivasi adalah melalui perluasan vertikal pekerjaan dengan menambahkan tanggung jawab perencanaan dan pengevaluasian. Pengayaan pekerjaan meningkatkan kedalaman, yakni tingkat kendali para karyawan terhadap pekerjaan mereka. Dengan kata lain, karyawan diberdayakan supaya dapat mengemban sejumlah tugas yang lazimnya dilakukan oleh manajer mereka. Dengan demikian, tugas dalam pengayaan pekerjaan harus memungkinkan para karyawan melakukan kegiatan lengkap dengan kebebasan, kemandirian, dan tanggung jawab yang lebih besar. Tugas-tugas itu juga harus memberi umpan balik agar individu dapat menilai dan membetulkan kinerja mereka sendiri.
·         Model karakteristik pekerjaan
Meskipun banyak organisasi telah melaksanakan program pengayaan pekerjaan dan pemekaran pekerjaan serta hasil-hasilnya belum bisa disimpulkan, tidak ada satu pun pendekatan perancangan pekerjaan ini menyajikan kerangka kerja konseptual untuk menganalisis pekerjaan atau membimbing para manajer merancang pekerjaan yang memotivasi. Namun, model karakteristik pekerjaan (job characteristic models/ JCM) memberikan kerangka semacam itu. JCM mengidentifikasi lima karakteristik utama pekerjaan, kaitan-kaitannya, dan dampaknya pada produktivitas, motivasi, dan kepuasan karyawan.
Berdasarkan JCM, setiap pekerjaan dapat didefinisikan menurut lima dimensi inti yaitu sebagai berikut:
                                                                        i.            Keragaman keterampilan, tingkat sejauh mana keragaman kegiatan yang diperlukan oleh pekerjaan tertentu agar karyawan dapat menggunakan berbagai bakat dan keterampilannya yang berbeda-beda.
                                                                      ii.            Identitas tugas, tingkat sejauh mana pekerjaan menuntut penyelesaian keseluruhan dan potongan kerja yang dapat diidentifikasi.
                                                                    iii.            Signifikansi tugas, tingkat sejauh mana pekerjaan berdampak besar pada kehidupan atau pekerjaan orang lain.
                                                                    iv.            Otonomi, tingkat sejauh mana pekerjaan memberi kebebasan, kemandirian, dan keleluasaan yang besar kepada seseorang dalam menjadwal pekerjaan itu dan menentukan prosedur yang digunakan untuk melaksanakannya.
                                                                      v.            Umpan balik, tingkat sejauh mana pelaksanaan kegiatan-kegiatan kerja yang dituntut oleh pekerjaan tertentu menyebabkan orang tersebut mendapatkan informasi yang langsung dan jelas mengenai efektivitas kinerjanya.
5)        Teori Kesetaraan
Teori kesetaraan yang dikembangkan oleh J. Stacey Adams mengatakan bahwa para karyawan melihat (mempersepsikan) apa yang mereka peroleh dari situasi (hasil) pekerjaan untuk dikaitkan dengan apa yang mereka masukkan ke pekerjaan itu (input), kemudian membandingkan rasio input-hasil mereka dengan rasio input-hasil orang lain yang relevan. Jika seorang karyawan menganggap rasio dirinya sama dengan rasio orang lain yang relevan itu, timbullah keadaan setara. Dengan kata lain, dia melihat bahwa situasi dirinya itu adil. Namun, seandainya rasio itu tidak sama maka timbullah ketidaksetaraan dan dia menganggap dirinya kurang dihargai atau terlampau dihargai. Jika timbul ketidaksetaraan, para karyawan berusaha melakukan sesuatu mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat dilakukan karyawan antara lain mengubah input maupun hasil mereka sendiri atau orang lain, berperilaku sedemikian rupa untuk mendorong orang lain mengubah input atau hasil mereka, berperilaku sedemikian rupa untuk mengubah input atau hasil mereka sendiri, memilih orang yang berbeda-beda sebagai pembanding, atau meninggalkan pekerjaan mereka (Robbins & Coulter, 2007).
Kesimpulannya teori kesetaraan menunjukkan bahwa bagi kebanyakan karyawan, motivasi sangat dipengaruhi oleh imbalan relatif dan juga imbalan absolut meski beberapa hal utama masih tetap tidak jelas (Robbins & Coulter, 2007).

6)        Teori Pengharapan
Teori ini menyatakan cara memilih dan bertindak dari berbagai alternatif tingkah laku, berdasarkan harapannya apakah ada keuntungan yang diperoleh dari tiap tingkah laku. Teori pengharapan berpikir atas dasar:
·         Harapan hasil prestasi
Individu mengharapkan konsekuensi tertentu dari tingkah laku mereka. Harapan ini nantinya akan mempengaruhi keputusan tentang bagaimana cara mereka bertingkah laku.
·         Valensi
Hasil dari suatu tingkah laku tertentu mempunyai valensi atau kekuatan untuk memotivasi. Valensi ini bervariasi dari satu individu ke individu yang lain.
·         Harapan prestasi usaha
Harapan orang mengenai tingkat keberhasilan mereka dalam melaksanakan tugas yang sulit akan berpengaruh pada tingkah laku. Tingkah laku seseorang sampai tingkat tertentu akan tergantung pada tipe hasil yang diharapkan (Nursalam, 2007).
Kunci teori pengharapan adalah memahami sasaran seseorang dan kaitan antara usaha dan kinerja, antara kinerja dan imbalan, dan akhirnya antara imbalan dan kepuasan kerja orang tersebut. Teori ini menekankan hasil atau imbalan. Akibatnya, kita harus berkeyakinan bahwa imbalan yang ditawarkan oleh organisasi itu sesuai dengan keinginan individu tersebut. Teori pengharapan menyatakan bahwa tidak ada prinsip universal yang mampu menjelaskan apa yang memotivasi individu dan karena itu menekankan bahwa para manajer harus memahami mengapa karyawan melihat hasil tertentu menarik atau tidak (Robbins & Coulter, 2007).

1 komentar: