I.
Teori-Teori
Awal Tentang Motivasi
a. Teori Hirarki
Kebutuhan Maslow
Teori
motivasi yang paling dikenal mungkin adalah Teori Hierarki Kebutuhan Abraham
Maslow. Maslow adalah psikolog humanistik yang berpendapat bahwa pada diri tiap orang terdapat hierarki
lima kebutuhan.
a) Kebutuhan fisik: makanan, minuman,
tempat tinggal, kepuasan seksual, dan kebutuhan fisik lain.
b) Kebutuhan keamanan: keamanan dan
perlindungan dari gangguan fisik dan emosi, dan juga kepastian bahwa kebutuhan
fisik akan terus terpenuhi.
c) Kebutuhan sosial: kasih sayang,
menjadi bagian dari kelompoknya, diterima oleh
teman-teman, dan persahabatan.
d) Kebutuhan harga diri: faktor harga
diri internal, seperti penghargaan diri, otonomi, pencapaian prestasi dan harga
diri eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
e) Kebutuhan aktualisasi diri:
pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri; dorongan
untuk menjadi apa yang dia mampu capai.
Menurut Maslow, jika ingin memotivasi seseorang kita perlu
memahami ditingkat mana keberadaan orang itu dalam hierarki dan perlu berfokus
pada pemuasan kebutuhan pada atau diatas tingkat itu (Robbins & Coulter,
2007).
b.
Teori
X dan Y McGregor Douglas
McGregor terkenal karena rumusannya tentang dua kelompok
asumsi mengenai sifat manusia: Teori X dan Teori Y. Teori X pada dasarnya
menyajikan pandangan negatif tentang orang. Teori X berasumsi bahwa para
pekerja mempunyai sedikit ambisi untuk maju, tidak menyukai pekerjaan, ingin
menghindari tanggung jawab, dan perlu diawasi dengan ketat agar dapat efektif
bekerja. Teori Y menawarkan pandangan positif. Teori Y berasumsi bahwa para
pekerja dapat berlatih mengarahkan diri, menerima dan secara nyata mencari
tanggung jawab, dan menganggap bekerja sebagai kegiatan alami. McGregor yakin bahwa
asumsi Teori Y lebih menekankan sifat pekerja sebenarnya dan harus menjadi
pedoman bagi praktik manajemen (Robbins & Coulter, 2007.
c.
Teori
Motivasi Higienis Herzberg
Teori ini menyatakan bahwa kepuasan dan ketidak-puasan
seseorang dipengaruhi oleh dua kelompok faktor independen yakni faktor-faktor
penggerakan motivasi dan faktor-faktor pemelihara motivasi. Menurut Herzberg,
karyawan memiliki rasa kepuasan kerja dalam pekerjaannya, tetapi faktor-faktor
yang menyebabkan kepuasan berbeda jika dibandingkan dengan faktor-faktor
ketidak-puasan kerja. Rasa kepuasan kerja dan rasa ketidak-puasan kerja tidak
berada dalam satu kontinum. Lawan dari kepuasan adalah tidak ada kepuasan kerja
sedangkan lawan dari ketidakpuasan kerja adalah tidak ada ketidak-puasan kerja
(Robbins, 2003).
Faktor-faktor yang merupakan penggerak motivasi (faktor-faktor
intrinsik) ialah:
·
Pengakuan
(cognition), artinya karyawan memperoleh pengakuan dari pihak perusahaan bahwa
ia adalah orang, berprestasi, baik, diberi penghargaan, pujian, dimanusiakan,
dan sebagainya.
·
Tanggung
jawab (responsibility), artinya karyawan diserahi tanggung jawab dalam
pekerjaan yang dilaksanakannya, tidak hanya semata-mata melaksanakan pekerjaan.
·
Prestasi
(achievement), artinya karyawan memperoleh kesempatan untuk mencapai hasil yang
baik atau berprestasi.
·
Pertumbuhan
dan perkembangan (growth and development), artinya dalam setiap pekerjaan itu
ada kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang.
·
Pekerjaan
itu sendiri (job it self), artinya memang pekerjaan yang dilakukan itu sesuai
dan menyenangkan bagi karyawan. Adapun faktor-faktor pemelihara motivasi
(faktor-faktor ekstrinsik) ialah:
i.
Gaji
(salary) yang diterima karyawan
ii.
Kedudukan
(status) karyawan
iii.
Hubungan
antar pribadi dengan teman sederajat, atasan atau bawahan
iv.
Penyeliaan
(supervisi) terhadap karyawan
v.
Kondisi
tempat kerja (working condition)
vi.
Keselamatan
kerja (job safety)
vii.
Kebijakan
dan administrasi perusahaan, khususnya dalam bidang personalia
Menurut
Herzberg, meskipun faktor-faktor pendorong motivasi baik keadaannya (menurut
penilaian karyawan), tetapi jika faktor-faktor pemeliharaan tidak baik
keadaannya, tidak akan menimbulkan kepuasan kerja bagi karyawan. Oleh sebab
itu, untuk meningkatkan motivasi dengan cara perbaikan faktor-faktor
pemeliharaan, baru kemudian faktor-faktor pendorong motivasi (Robbins, 2003).
II.
Teori
Motivasi Modern
1)
Teori
Tiga Kebutuhan
David
McClelland menyebutkan ada tiga kelompok motivasi kebutuhan yang dimiliki
seseorang yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan
afiliasi. Kebutuhan prestasi (achievement) yaitu adanya keinginan untuk
mencapai tujuan yang lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini dapat dicapai
dengan cara merumuskan tujuan, mendapatkan umpan balik, memberikan tanggung
jawab pribadi, dan bekerja keras. Kebutuhan kekuasaan (power) artinya yaitu
adanya kebutuhan kekuasaan yang mendorong seseorang bekerja sehingga
termotivasi dalam pekerjaannya. Cara bertindak dengan kekuasaan tergantung
kepada pengalaman masa kanak-kanak, kepribadian, pengalaman kerja, dan tipe
organisasi. Kebutuhan afiliasi artinya kebutuhan untuk berinteraksi dengan
orang lain. Hal ini dapat dicapai dengan cara bekerja sama dengan orag lain,
dan sosialisasi (Ishak, dkk, 2003).
2)
Teori
Penentuan Sasaran
Teori
penentuan sasaran ini menyatakan bahwa orang akan bekerja lebih baik jika
mereka mendapatkan umpan balik mengenai sejauh mana mereka maju menuju sasaran,
karena umpan balik membantu mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang telah
mereka lakukan dan apa yang ingin mereka lakukan. Selain umpan balik, ada tiga
faktor lain telah yang mempengaruhi hubungan sasaran-kinerja. Faktor-faktor itu
mencakup komitmen pada sasaran, kemampuan diri yang memadai, dan budaya
nasional. Teori penentuan sasaran mensyaratkan bahwa individu berkomitmen pada
sasaran tadi artinya individu berniat tidak menurunkan atau meninggalkan
sasaran tadi. Komitmen sangat cenderung terjadi jika sasaran itu diumumkan,
jika individu tersebut mempunyai tempat kendali internal, dan jika sasaran itu
ditentukan sendiri, bukan diberikan. Efektifitas diri merujuk ke keyakinan
seseorang bahwa ia mampu melaksanakan tugas tertentu. Semakin tinggi
efektifitas diri kita, semakin yakin kita kita akan kemampuan berhasil pada
tugas tertentu. Jadi dalam situasi-situasi sulit, kami menemukan bahwa orang
yang rendah efektivitas dirinya lebih cenderung mengurangi usaha mereka atau
sepenuhnya menyerah kalah, sedangkan orang-orang yang tinggi efektifitas
dirinya akan berusaha lebih keras, mengatasi tantangan itu (Robbins &
Coulter, 2007).
3)
Teori
Penguatan
Teori
penguatan menunjukkan bagaimana konsekuensi tingkah laku dimasa lampau akan
mempengaruhi tindakan dimasa depan dalam proses belajar. Menurut teori
penguatan, seseorang akan termotivasi jika dia memberikan respons rangsangan
pada pola tingkah laku yang konsisten sepanjang waktu (Nursalam, 2007). Teori penguatan mengatakan bahwa
perilaku adalah fungsi dari akibat. Teori penentuan sasaran menyatakan bahwa
maksud individu mengarahkan perilakunya. Teori penguatan mengatakan bahwa
perilaku itu ditimbulkan dari luar. Apa yang mengendalikan perilaku adalah
penguat, akibat yang bila diberikan dengan segera setelah perilaku tertentu
dilakukan, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku tersebut akan diulang
(Robbins & Coulter, 2007).
Berlawanan
dengan teori penentuan sasaran, kunci teori penguatan ialah mengabaikan
faktor-faktor seperti sasaran, harapan, dan kebutuhan. Sebagai gantinya, teori
itu hanya memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dengan seseorang ketika ia
mengambil tindakan tertentu (Robbins & Coulter, 2007).
Berdasarkan teori penguatan, para manajer dapat mempengaruhi perilaku karyawan dengan memperkuat tindakan yang mereka anggap menguntungkan. Namun, karena penekanan itu terletak pada penguatan positif, bukan hukuman, para manajer seharusnya mengabaikan, bukannya menghukum perilaku yang tidak menguntungkan. Meskipun hukuman lebih cepat menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dibanding tindakan bukan penguatan, dampak hukuman itu sering hanya sementara dan dikemudian hari akan mempunyai efek samping yang tidak menyenangkan, seperti perilaku disfungsi berupa konflik di tempat kerja, ketidakhadiran, dan tingkat keluar masuknya karyawan (Robbins & Coulter, 2007).
Berdasarkan teori penguatan, para manajer dapat mempengaruhi perilaku karyawan dengan memperkuat tindakan yang mereka anggap menguntungkan. Namun, karena penekanan itu terletak pada penguatan positif, bukan hukuman, para manajer seharusnya mengabaikan, bukannya menghukum perilaku yang tidak menguntungkan. Meskipun hukuman lebih cepat menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dibanding tindakan bukan penguatan, dampak hukuman itu sering hanya sementara dan dikemudian hari akan mempunyai efek samping yang tidak menyenangkan, seperti perilaku disfungsi berupa konflik di tempat kerja, ketidakhadiran, dan tingkat keluar masuknya karyawan (Robbins & Coulter, 2007).
4)
Merancang
Pekerjaan yang Mampu Memotivasi
Para
manajer sangat menaruh minat pada cara memotivasi orang di tempat kerja dan
perlu meninjau cara-cara apa saja untuk merancang pekerjaan yang memotivasi.
Cara-cara yang dapat digunakan manajer untuk merancang pekerjaan tersebut
adalah:
·
Pemekaran
pekerjaan
Perancangan
pekerjaan secara historis berkonsentrasi pada membuat pekerjaan itu menjadi
kecil dan lebih terspesialisai. Salah satu upaya paling awal untuk mengatasi
kelemahan spesialisasi adalah pemekaran pekerjaan secara horisontal melalui
peningkatan jangkauan pekerjaan (job scopes) jumlah tugas yang berbeda-beda
yang diperlukan oleh pekerjaan tertentu dan frekuensi pengulangan tugas-tugas
itu.
·
Pengayaan
pekerjaan
Pendekatan
lain untuk merancang pekerjaan yang memotivasi adalah melalui perluasan
vertikal pekerjaan dengan menambahkan tanggung jawab perencanaan dan
pengevaluasian. Pengayaan pekerjaan meningkatkan kedalaman, yakni tingkat
kendali para karyawan terhadap pekerjaan mereka. Dengan kata lain, karyawan
diberdayakan supaya dapat mengemban sejumlah tugas yang lazimnya dilakukan oleh
manajer mereka. Dengan demikian, tugas dalam pengayaan pekerjaan harus
memungkinkan para karyawan melakukan kegiatan lengkap dengan kebebasan,
kemandirian, dan tanggung jawab yang lebih besar. Tugas-tugas itu juga harus
memberi umpan balik agar individu dapat menilai dan membetulkan kinerja mereka
sendiri.
·
Model
karakteristik pekerjaan
Meskipun
banyak organisasi telah melaksanakan program pengayaan pekerjaan dan pemekaran
pekerjaan serta hasil-hasilnya belum bisa disimpulkan, tidak ada satu pun
pendekatan perancangan pekerjaan ini menyajikan kerangka kerja konseptual untuk
menganalisis pekerjaan atau membimbing para manajer merancang pekerjaan yang
memotivasi. Namun, model karakteristik pekerjaan (job characteristic models/
JCM) memberikan kerangka semacam itu. JCM mengidentifikasi lima karakteristik
utama pekerjaan, kaitan-kaitannya, dan dampaknya pada produktivitas, motivasi,
dan kepuasan karyawan.
Berdasarkan
JCM, setiap pekerjaan dapat didefinisikan menurut lima dimensi inti yaitu
sebagai berikut:
i.
Keragaman
keterampilan, tingkat sejauh mana keragaman kegiatan yang diperlukan oleh
pekerjaan tertentu agar karyawan dapat menggunakan berbagai bakat dan keterampilannya
yang berbeda-beda.
ii.
Identitas
tugas, tingkat sejauh mana pekerjaan menuntut penyelesaian keseluruhan dan
potongan kerja yang dapat diidentifikasi.
iii.
Signifikansi
tugas, tingkat sejauh mana pekerjaan berdampak besar pada kehidupan atau
pekerjaan orang lain.
iv.
Otonomi,
tingkat sejauh mana pekerjaan memberi kebebasan, kemandirian, dan keleluasaan yang
besar kepada seseorang dalam menjadwal pekerjaan itu dan menentukan prosedur
yang digunakan untuk melaksanakannya.
v.
Umpan
balik, tingkat sejauh mana pelaksanaan kegiatan-kegiatan kerja yang dituntut
oleh pekerjaan tertentu menyebabkan orang tersebut mendapatkan informasi yang
langsung dan jelas mengenai efektivitas kinerjanya.
5)
Teori
Kesetaraan
Teori kesetaraan yang dikembangkan oleh J. Stacey Adams
mengatakan bahwa para karyawan melihat (mempersepsikan) apa yang mereka peroleh
dari situasi (hasil) pekerjaan untuk dikaitkan dengan apa yang mereka masukkan
ke pekerjaan itu (input), kemudian membandingkan rasio input-hasil mereka
dengan rasio input-hasil orang lain yang relevan. Jika seorang karyawan
menganggap rasio dirinya sama dengan rasio orang lain yang relevan itu,
timbullah keadaan setara. Dengan kata lain, dia melihat bahwa situasi dirinya
itu adil. Namun, seandainya rasio itu tidak sama maka timbullah ketidaksetaraan
dan dia menganggap dirinya kurang dihargai atau terlampau dihargai. Jika timbul
ketidaksetaraan, para karyawan berusaha melakukan sesuatu mengenai hal
tersebut. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat dilakukan karyawan antara lain
mengubah input maupun hasil mereka sendiri atau orang lain, berperilaku
sedemikian rupa untuk mendorong orang lain mengubah input atau hasil mereka,
berperilaku sedemikian rupa untuk mengubah input atau hasil mereka sendiri,
memilih orang yang berbeda-beda sebagai pembanding, atau meninggalkan pekerjaan
mereka (Robbins & Coulter, 2007).
Kesimpulannya teori kesetaraan menunjukkan bahwa bagi
kebanyakan karyawan, motivasi sangat dipengaruhi oleh imbalan relatif dan juga
imbalan absolut meski beberapa hal utama masih tetap tidak jelas (Robbins &
Coulter, 2007).
6)
Teori
Pengharapan
Teori ini menyatakan cara memilih dan bertindak dari
berbagai alternatif tingkah laku, berdasarkan harapannya apakah ada keuntungan
yang diperoleh dari tiap tingkah laku. Teori pengharapan berpikir atas dasar:
·
Harapan
hasil prestasi
Individu
mengharapkan konsekuensi tertentu dari tingkah laku mereka. Harapan ini
nantinya akan mempengaruhi keputusan tentang bagaimana cara mereka bertingkah
laku.
·
Valensi
Hasil dari suatu tingkah laku tertentu mempunyai valensi atau kekuatan untuk memotivasi. Valensi ini bervariasi dari satu individu ke individu yang lain.
Hasil dari suatu tingkah laku tertentu mempunyai valensi atau kekuatan untuk memotivasi. Valensi ini bervariasi dari satu individu ke individu yang lain.
·
Harapan
prestasi usaha
Harapan
orang mengenai tingkat keberhasilan mereka dalam melaksanakan tugas yang sulit
akan berpengaruh pada tingkah laku. Tingkah laku seseorang sampai tingkat
tertentu akan tergantung pada tipe hasil yang diharapkan (Nursalam, 2007).
Kunci
teori pengharapan adalah memahami sasaran seseorang dan kaitan antara usaha dan
kinerja, antara kinerja dan imbalan, dan akhirnya antara imbalan dan kepuasan
kerja orang tersebut. Teori ini menekankan hasil atau imbalan. Akibatnya, kita
harus berkeyakinan bahwa imbalan yang ditawarkan oleh organisasi itu sesuai
dengan keinginan individu tersebut. Teori pengharapan menyatakan bahwa tidak
ada prinsip universal yang mampu menjelaskan apa yang memotivasi individu dan
karena itu menekankan bahwa para manajer harus memahami mengapa karyawan
melihat hasil tertentu menarik atau tidak (Robbins & Coulter, 2007).
Artikel yang bermanfaat. :)
BalasHapus