Opening

Selasa, 26 November 2013

Keluarga



Pembicaraan mengenai keluarga akan dibatasi pada keluarga batih. Keluarga batih terdiri dari suami/ ayah, istri/ ibu dan anak-anak yang belum menikah. Lazimnya dikatakan, bahwa keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat. Sebab, di samping keluarga batih terdapat pula unit-unit pergaulan hidup lainnya misalnya, keluarga luas (“ extended family”), komunitas (“ community”) dan lain sebagainya.
Sebagai unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat , keluaraga batih mepunyai peranan-peranan tertentu. Peranan-peranan itu adalah, sebagai berikut:
1.      Keluarga batih berperanan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, di mana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.

2.      Keluarga batih merupakan unit sosial ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya.
3.      Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.
4.      Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dari penyajian beberapa peranan tersebut di atas, nyatalah betapa pentingnya keluarga batih terutama bagi perkembangan kepribadian seseorang. Gangguan pada pertumbuhan kepribadian seseorang mungkin disebabkan pecahnya kehidupan keluarga batih secara fisik maupun mental.
Di Indonesia peranan keluarga batih semakin penting, terutama di kota-kota. Di wilayah pedesaan yang sulit menutup diri terhadap pengaruh kota, peranan keluarga batih juga semakin penting. Semula keluarga luas (“ exyended family”) memang lebih berperan; kelompok-kelompok kekerabatan, misalnya, lebih berperan karena secara tradisional penting daripada hubungan karena perkawinan, walaupu perkawinan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan hubungan darah tersebut.
Meningkatnya peranan keluarga batih disebabkan oleh faktor-faktor, sebagai berikut:
1.      Hubungan darah yang semula mendapat tekanan yang sangat kuat kemudian didampingi dengan faktor hubungan karena tempat tinggal yang sama.
2.      Pembagian kerja dalam masyarakat yang semakin berkembang kearah keterampilan individual menyebabkan bahwa kemampuan kolektif atau kelompok.
3.      Pusat kehidupan yang semula ada di kelompok-kelompok kekerabatan semakin beralih ke keluarga batih.
4.      Pelaksanaan program keluarga berencana yang menekankan pada pengaturan kehamilan dan pembatasan kelahiran, halmana mengakibatkan semakin eratnya hubungan antara anggota-anggota suatu keluarga batih yang secara relative kecil jumlahnya.
Dari sudut atau titik tolak perkembangan kepribadian individual anggota-anggota keluarga batih, semakin berperannya keluarga batih lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan, oleh karena dengan demikian orang tua ( yakni suami dan istri) akan dapat memusatkan perhatian yang lebih banyak terhadap anak-anaknya sendiri. Pendapatan orang tua, misalnya, akan dapat dipusatkan secara penuh untuk kepentingan anak-anaknya.
Walaupun demikian kecendrungannya, akan tetapi peningkatan peranan keluarga batih di Indonesia belum merata. Hal ini disebabkan karena taraf kemajemukan masyarakat Indonesia yang relative agak tinggi. Masyarakat Indonesia terdiri dari ratusan suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan khusus dan didasarkan pada cara menarik harus keturunan tertentu. Penarikan garis keturunan demikian mempunyai pengaruh timbale balik dengan tradisi bahwa kehidupan berpusat pada keluarga luas. Tradisi demikian hamper tidak mungkin dihapus, akan tetapi harus dibiarkan berkembang. Nantinya pasti aka nada faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya perkembangan kearah meningkatnya peranan keluarga batih.
Disamping itu tampaknya peningkatan peranan keluarga batih cenderung ada pada lapisan atas. Pada lapisan menengah perkembangan itu masih menemukan kesuliatan-kesulitan karena masih dianutnya tradisi secara kuat; demikian pula halnya dengan lapisan bawah.

A.      Keluarga Batih dan Lingkungan Sosial
Di luar kehidupan keluarga batih terdapat suatu lingkungan yang biasanya disebut lingkungan sosial. Secara sosiologis lingkungan sosial mencakup lingkup yang sangat luas, oleh karena  berintikan pada interaksi sosial.
Di Indonesia peranan lingkungan sosial tampaknya masih besar apabila dibandingkan dengan peranan keluarga batih, terutama pada lapisan menengah dan bawah. Bahkan dapat dikatakan, bahwa faktor-faktor eksternal lebih besar peranannya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Hal ini tidak saja berkaitan dengan pola hidup spiritual, akan tetapi juga aspek materilnya. Lingkungan sosial tersebut secara sederhana dapat dibedakan antara lingkungan pendidikan formal, pekerjaan dan tetangga.
Lingkungan pendidikan formal, yakni sekolah, sangat mempengaruhi pola hidup anak-anak. Sebab, kelompok sepermainan biasanya tumbuh di lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut. Selain dari itu mutu sekolah dan guru-gurunya juga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak-anak. Pola hidup yang berkembang di sekolah yang dewasa ini terutama memberikan tekanan pada materialism, kemudian di bawah rumah. Hal ini mungkin dapat menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan keluarga batih.
Lingkungan pekerjaan membentuk sebagian kepribadian suami dan istri (ayah dan ibu). Para suami yang menjadi pegawai negeri, anggota ABRI atau wiraswasta, rata-rata membawa pola hidup pekerjaan suami sangat mempengaruhinya. Akan tetapi kalau istri bekerja juga di lain bidang, maka ada kemungkinan terjadi dualisme dalam keluarga batih, apabila tidak ada usaha penyerasian. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi pola kehidupan keluarga batih yang bersangkutan. Dari luar secara sepintas hal itu memang tampak; pola hidup keluarga batih pegawai negeri berbeda dengan keluarga ABRI dan selanjutnya juga berbeda dengan keluarga swasta.
Lingkungan tetangga juga mempunyai pengaruh terhadap pola hidup keluarga batih. Dalam hal ini perlu dibedakan antara berbagai jenis lingkungan tetangga, sesuai dengan lokasi pemukiman yang tertutup dan terbuka, yang kemudian dihubungkan dengan lapisan sosial. Berdasarkan patokan-patokan itu, maka dapat diadakan penggolongan, sebagai berikut:
1.      Lapisan tebuka
a)         Lapisan tinggi.
b)        Lapisan menengah;
c)         Lapisan bawah.
2.      Lapisan tertutup.
a)         Lapisan tinggi;
b)        Lpisan menengah;
c)         Lapisan bawah.
Menurut pengamatan sekilas di kota-kota, maka lingkungan tetangga lapisan menegah dan rendah lebih besar peengaruhnya terhadap pola hidup keluarga batih, apabila dibandingkan dengan lingkungan tetangga lapisan tinggi. Gejala ini cendrung lebih banyak dijumpai pada lingkungan tetangga tertutup, yang penduduknya relative homegen. Sebaliknya peranan kelurga batih semakin besar pada lingkungan tetangga lapisan tinggi atau atas, yang cendrung berkembang kearah individualisme.
Dengan demikian tampaknya lingkungan pendidikan formal mempengaruhi pola hidup anak-anak ( yang sekolah). Lingkungan pekerjaan sangat mempengaruhi pola hidup orang tua. Selanjutnya lingkungan tetangga akan mempengaruhi keluarga batih lapisan-lapisan menegah dan bawah, sedangkan pada lapisan tinggi atau atas tampaknya pola hidup keluarga batih lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor intern, sehingga peranan keluarga batih lebih menonjol.

B.       Lingkungan hukum.
Pada kehidupan keluarga yang lebih menekankan pada segi spiritual, lingkungan hukum pada umumnya mengikuti perkembangan pola hidup dan mengesankan gejala yang terjadi. Lingkungan hukum mencakup, antara lain, perundang-undangan, hukum adat, hukum yurisprundensi (yakni putusan-putusan hakim), traktat ( perjanjian-perjanjian internasional) dan hukum yang dihasilkan oleh kalangan intelektual hukum ( disebut hukum ilmuan). Dalam tulisan ini pembicaraan hanya akan dibatasi pada perundang-undangan dan hukum adat saja.
Perundang-undangan merupakan keputusan penguasa yang remi, bersifat tertulis dan mengikat. Contohnya adalah, antara lain, undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri, dan seterusnya. Perundang-undangan di Indonesia cenderung untuk meningkatkan peranan keluarga batih dalam masyarakat. Gejala ini tampak, misalnya, dalam perundang-undangan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menempatkan suami dan istri pada derajat yang sama. Selanjutnya terdapat aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban orang tua maupun anak-anak. Dalam Undang-undang itu tidak disebutkan mengenai keluarga-keluarga luas dan perannya. Dalam perundang-undangan lainnya, misalnya yang berkaitan dengan keluarga berkeluarga, peranan keluarga batih juga lebih ditekankan daripada keluarga lua.
Hukum adat merupakan hukum tertulis yang timbuldari masyarakat. Keberlakuannya ditetapkan oleh masyarakat atau penguasa adat. Di Indonesia terdapat kemajemukan hukum adat, oleh karena masyarakatpun majemuk. Peranana keluarga batih menurut hukum adat sangat terantung pada cara-cara menarik garis keturunan yakni yang sepihak (laki-laki atau wanita) atau dua pihak ( laki-laki dan wanita). Pada masyarakat-masyarakat yang menarik garis keturunan secara sepihak peranan keluarga batih relative kecil apabila dibandingkan dengan keluarga luas. Akan tetapi dewasa ini pengaruh pola hidup kota kadang-kadang berpenagruh, sehingga peranan keluarga batih semakin meningkat, walaupun sifatnya masih kasuistis. Sebaliknya pada masyarakat yang menarik garis keturunan melalui dua pihak, keluarga batih memang diberi peranan yang menonjol. Yang sangat berperan faktor hubungan dasar hanya dibatasi pada keluarga batih belaka, yang sudah diwarnai dengan faktor perkawinan.
Perlu diakui bahwa perundang-undangan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, lebih banyak dianut oleh warga masyarakat kota. Di wilayah pedesaan hukum adat lebih banyak dianut, oleh karena hukum adat timbul masyarakat itu sendiri. Kenyataan menunjukkan adanya gejala itu, walupun secara yuridis hukum adat dapat ditiadakan ( secara formal) oleh perundang-undangan.
C.       Pembagian kerja menurut jenis kelamin.
Pengalaman pemasyarakatan yang dini itu, dimana anak-anak muda mulai memperoleh nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka merupakan dasar bagi tingkah laku dewasa mereka kelak, jika mereka menjadi orang tua dan suami/istri. Perbedaan dalam peran seks sangat menonjol dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin. Pada semua masyarakat tugas-tugas tertentu diberikan kepada wanita dan ada yang lainnya pula diberikan kepada laki-laki, dan ada juga yang dapat dikerjakan oleh kedua-duanya. Sedikit sekali dari pembagian ini diperlukan oleh kelainan biologis kedua jenis kelamin itu. Seorang laki-laki tidak dapat melahirkan anak atau merawatnya. Laki-laki lebih kuat dan dapat lari lebih cepat daripada wanita, yang sebaliknya sewaktu-waktu agak terhalang oleh karena kehamilan dan menstruasi. Tetapi wanita, cukup mempunyai kekuatan dan kecepatan untuk mengerjakan hamper semua pekerjaan di tiap masyarakat.
Sama pentingnya pula ialah bahwa apa yang dianggap sebagai pekerjaan lki-laki pada suatu masyarakat mungkin saja dianggap pekerjaan wanita pada masyarakat lain, dengan demikian menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan, atau didasarkan berbagai macam faktor dimana faktor biologisnya hanya merupakan satu bagian saja. Tetapi, di ¾ atau lebih masyarakat yang ada datanya, wanita itu mengerjakan tugas-tugas sebagai berikut; menggiling gandum, mengangkat air, memasak, mengawetkan makanan, membetulkan dan membuat pakaian, menenun (kain, tilam, dan keranjang-keranjang), mengumpulkan makanan ( kacang-kacangan, buah-buahan, umbian, dan sebagainya) dan juga membuat barang-barang dari tanah liat. Semua tugas itu dapat dilaksanakan dengan tetap tinggal dekat kepada anak-nak dan tempat tinggal.
Pada kebanyakan masyarakat, laki-laki diberi tugas; mengembala, berburu dan menangkap ikan, menebang pohon, menambang dan menggali, pandai besi, membuat alat-alat music, mengerjakan, peralatan upacara, menukang dan membuat rumah. Beberapa diantaranya memerlukan tenaga, dan ada pula yang menuntut pergi dari tempat tinggal. Ada pula yang tidak memerlukan baik tenaga ataupun peninggalan tempat tinggal. Perlu diperhatikan bahwa pemeliharaan tanaman memerlukan ketekunan dan juga tenaga, tetapi kenyataannya merupakan kegiatan wanita maupun laki-laki.
Bahwa pembagian itu bukan didasarkan atas pertimbangan kemampuan terlihat dari kenyataan bahwa laki-laki pun dapat mengerjakan semua pekerjaan wanita, tetapi tidak melakukannya, sedangkan pekerjaan yang khusus merupakan pekerjaan laki-laki biasanya tidak menuntut seluruh waktunya. Pembagian pekerjaan tidak didasarkan atas dasar biologis maupun persamaan sederhana. Satu faktor, penting lagi sebagai suatu unsure dalam kedudukan sang suami, dan kedudukan laki-laki dalam masyarakat. Apapun tugas khusus laki-laki itu, kesemuanya dianggap lebih terhormat.
Unsur ini menggambarkan bahwa pembagian kerja menurut jenis kelamin, di dalam keluarga dan masyarakat, hamper-hampir mendekati pembatasan suku bangsa dan kasta di beberapa Negara modern. Yaitu suku, kasta atau jenis kelamin yang berkedudukan rendah dianggap tidak dapat mengerjakan jenis-jenis pekerjaan tertentu, tetapi juga akan dianggap melanggar kesopanan jika mereka berbuat demikian. Jelas jika wanita benar-benar tidak dapat mengerjakan bermacam-macam jenis pekerjaan pria, tidak perlu ada larangan moral atau etika untuk mencegah mereka melakukannya.
Dengan gambling dapat dikatakan meskipun tanpa tabulasi yang lengkap, bahwa tidak ada pada masyarakat manapun bahwa laki-laki dan wanita bebas memilih pekerjaan yang mereka kehendaki dengan alas an tepat guna, kemudahan dan kapasitas. Dalam hal ini tidak ada istilah ‘pasaran bebas’. Tambahan pula, tugas untuk mengendalikan, mengatur, memutuskan sangat menarik para dewa, pendek kata pekerjaan tingkat tinggi yang biasanya tidak memerlukan tenaga, kecepatan, atau berpergian jauh dari rumah merupakan pekerjaan laki-laki. Pada masyarakat primitive atau yang sudah tinggi tingkat perkembangan industrinya, laki-laki berkebratan wanita mengambil alih pekerjaan tingkat tinggi, dan juga menolak untuk mengambil  alih tugas-tugas wanita. Hal ini memang terjadi di cian komunis dan sedikit banyak juga dalam ‘kibbutzim’ Israel, sama halnya di AS, meski pun dalam kenyataannya wanita di beri pekerjaan-pekerjaan penting, di ketiga negeri itu. Pembagian ini dibenarkan oleh berbagai rasionalisasi dan peraturan-peraturan moral, semua itu merupakan bagian daripada pengalaman sosialisasi anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Sejak dari mula anak laki-laki belajar untuk merendahkan beberapa macam pekerjaan sebagai pekerjaan kewanitaan, dan memandang tinggi kepada yang lainnya sebagai kajantanan.
D.      Pembagian Peran Suami Istri dalam Mendidik Anak.
Dalam sistem patriarki, pembagian peran dalam rumah tangga dibebankan secara timpang kepada perempuan, diantaranya dengan pembenaran atas “naluri keibuan”. Beberapa akibatnya adalah banyak anak yang kehilangan keakraban dengan ayahnya, karena si ayah beranggapan bahwa mengasuh anak adalah “melawan kodratnya” sebagai laki-laki.
Akibat yang lain, karena diyakini bahwa kualitas anak adalah tanggung jawab ibi, apabila sewaktu-waktu muncul masalah dengan anak, pihak suami terburu-buru mengambinghitamkan kaum wanita, istri, dan ibu selaku penanggung jawab utamanya. Padahal sesunngguhnya, seperti halnya wanita mempunyai naluri keibuan, pria pun memiliki naluri kebapakan. Naluri kebapakan inilah yang memungkinkan seorang pria peduli pada tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang ayah pun bisa memandikan bayi, mengganti popok bayi dan mencucinya, menyiapkan makan untuk istri dan anaknya, dan sebagainya.
Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW, memberikan contoh teladan bahwa Nabi dan para sahabatnya terbiasa menambal kasur, berbelanja kepasar, dan mencuci pakaian hingga memasak jika perlu.
Dengan naluri kebapakan inilah seorang suami dapat membantu meningkatkan kualitas keluarganya. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosional dan penerimaan atas kehamilan istrinya akan membantu sang istri mengatasi perubahan fisik dan emosionalnya. Begitu pentingnya peran aktif ayah dalam keluarga, sampai-sampai di Negara Skandinavia seorang ayah bahkan berhak atas cuti melahirkan.
Kualitas tumbuh kembang anak pun meningkat dengan peran aktif ayah di rumah. anak membutuhkan orang tuanya sebagai objek ikatan batin agar ia tumbuh kembang secara wajar. Selain ibu, ayah pun menjadi teman yang menyenagkan bagi anak adan mempunyai kedekatan betin dengannya. Artinya anak mempunyai objek ikatan batin yang lengkap
Selnjutnya, partisipasi aktif ayah dalam rumah tangga pada gilirannya akan meningkat kulitas keluarga secara keseluruhan. Partisipasi ayah akan memabantu memperkecil beban peran ganda istri sehingga istri dapat memperhatikan hal-hal lain, termasuk dirinya sendiri. Akibatnya, tingkat kepuasan istri lebih tinggi yang pada gilirannya akan memperbaikai kualitas hubungannya dengan suami.
Hubungan suami dengan istri bisa dibedakan menjadi empat macam pola.
1.      Hubungan pemilik harta miliknya, yang secara financial maupun emosional, istri dianggap sebagai milik suami.
2.      Hubungan atasan bawahan, yang secara tegas dibedakan bahwa peran suami di sector public, istri di sector domestic.
3.      Hubungan senior jenior.
4.      Hubungan “ mitra sejajar”.
Setiap hubungan ini membawa kondisi tertentu dalam membagi peran dalam keluarga. Ada kecendrungan, pola hubungan suami istri sedang mengalami transisi menuju pola hubungan mitra sejajar. Pada saat ini pola hubungan suami saat ini masih senior jenior dan belum sepenuhnya merupakan hubungan mitra sejajar. Manifestasi dari pola hubungan senior-yunior menunjukkan bahwa suami masih menduduki posisi sebagai pencari nafkah utama ( meskipun penghasilan istri lebih besar dari pada suami) dan pengambil keputusan. Walaupun istri bekerja, bila ada masalah  dengan anak, wanita lebih dituntut untuk menyelesaikannya. Isteri menerima peran ini, karena sudah ditanamkan kepadanya untuk mengutamakan anak daripadapekerjaan, sedangkan suami merasa wajar saja bersikap demikian karena dalam dirinya telah tertanam bahwa suami layak mengutamakan pekerjaan dari pada urusan rumah tangga.
Namun, kemitrasejajaran pun bukan hanya sekedar membolak-balikkan peran domestic-publik antara suami dan isteri. Membolak-balik perilaku peran sekarang ini lebih mudah karena banyak fungsi keluarga yang bisa dijalankan oleh pembantu rumah tangga, baby sster, catering atau restoran, kelompok bermain, dan sebagainya. Teknologi saat ini pun menawarkan peralatan elektronik, bahan kimia sampai bahan makanan yang menyederhanakan tugas-tugas rumah.
Karakteristik kemitrasejajaran terletak pada sikap dalam memandang pembagian peran di antara suami dan istri dalam mendidik. Membicarakan kemitrasejajaran, berarti membicarakan bagaimana bisa terjadi perubahan sikap pria dan wanita, baik terhadap pasangannya maupun terhadap dirinya sendiri. Bersikap sebagai mitra sejajar, berarti memandang pembagian peran di luar maupun di dalam rumah sebagai sesuatu yang terbuka untuk dinegoisasikan dengan suami/istri. Itulah artinya”sejajar”. Dalam kemitrasejajaran, seorang istri menrupakan cara dalam memberikan perhatian, cara berkomunikasi, dan bukan karena kewajibannya.
Demi kelancaran pembagian peran dalam keluarga, terutama dalam mendidik anak, diperlukan sebuah negoisasi terlebih dahulu. Negoisasi ini seyogianya mulai dilakukan sebelum menikah. Sebelum menikah, pasangan perlu menyepakati terlebih dahulu pola hubungan seperti apa yang akan diterapkan dalam mengelola kehidupan keluarga dan pendidikan anaknya. Hal ini karena perkawinan pada intinya adalah membuat komitmen. Untuk melakukan negoisasi, calon pasangan perlu mengenal dirinya sendiri. Dengan demikan, ia lebih mudah mengetahui apa yang ia inginkan dari pasangannya.
Kelenturan dan keseimbangan pembagian peran suami ostri tidak hanya menghadapi sikap pasangan rumah,tetapi juga lingkungan yang lebih luas di luar rumah, misalnya di tempat kerja. Sebagai contoh, jika seorang anak sakit, kadang-kadang suami berusaha untuk memabantu atau bergantian dengan istri menjaga anak sakit, ataupun mengasunya ketika istri bertugas ke luar kota. Masalah seprti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Negara maju seperti Amerika pun, peran ibu rumah tangga dianggap using dan tidak sophisticated. Anggapan semacam ini yang didukung faham individualism yang merebak di era modern membuat banyak pasangan yang mengabaikan keluarga semata-mata demi sukses kariernya di luar rumah.
Akan tetapi, di Negara maju lainnya, seperti Jepang, ibu rumah tangga memainkan peran yang amat penting dan sangat terhormat. Wanita yang memilih berhenti bekerja untuk mendidik anaknya di rumah, mendapat hak cuti selama 1 samapai 6 tahun. Pemerintah Jepang memberikan keringan kredit kepada perusahaan yang member cuti model begini bagi karyawatinya.
Pembagian peran dalam mendidik antara suami istri dalam kenyataannya banyak menghadap kendala muncul secara cultural dari lingkungan kerja yang tidak mendukung. Oleh karena itu, dalam pemabagian peran mendidik anak, perlu adanya negoisasi antarkeduanya agar pembagian peran berjalan seimbang. Hal ini hanya akan tercapai dalam pola hubungan suami istri yang sejajar. Model pembagian peran pendidikan anak, dapat dilakukan oleh suami istri dengan cara proaktif da tidak hanya reakti menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar