Pembicaraan
mengenai keluarga akan dibatasi pada keluarga batih. Keluarga batih terdiri
dari suami/ ayah, istri/ ibu dan anak-anak yang belum menikah. Lazimnya dikatakan,
bahwa keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam
masyarakat. Sebab, di samping keluarga batih terdapat pula unit-unit pergaulan
hidup lainnya misalnya, keluarga luas (“ extended family”), komunitas (“
community”) dan lain sebagainya.
Sebagai
unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat , keluaraga batih mepunyai peranan-peranan
tertentu. Peranan-peranan itu adalah, sebagai berikut:
1. Keluarga
batih berperanan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota,
di mana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
2. Keluarga
batih merupakan unit sosial ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan
anggota-anggotanya.
3. Keluarga
batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.
4. Keluarga
batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni
suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dari
penyajian beberapa peranan tersebut di atas, nyatalah betapa pentingnya
keluarga batih terutama bagi perkembangan kepribadian seseorang. Gangguan pada
pertumbuhan kepribadian seseorang mungkin disebabkan pecahnya kehidupan
keluarga batih secara fisik maupun mental.
Di
Indonesia peranan keluarga batih semakin penting, terutama di kota-kota. Di
wilayah pedesaan yang sulit menutup diri terhadap pengaruh kota, peranan
keluarga batih juga semakin penting. Semula keluarga luas (“ exyended family”) memang
lebih berperan; kelompok-kelompok kekerabatan, misalnya, lebih berperan karena
secara tradisional penting daripada hubungan karena perkawinan, walaupu
perkawinan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan hubungan darah
tersebut.
Meningkatnya
peranan keluarga batih disebabkan oleh faktor-faktor, sebagai berikut:
1. Hubungan
darah yang semula mendapat tekanan yang sangat kuat kemudian didampingi dengan
faktor hubungan karena tempat tinggal yang sama.
2. Pembagian
kerja dalam masyarakat yang semakin berkembang kearah keterampilan individual
menyebabkan bahwa kemampuan kolektif atau kelompok.
3. Pusat
kehidupan yang semula ada di kelompok-kelompok kekerabatan semakin beralih ke
keluarga batih.
4. Pelaksanaan
program keluarga berencana yang menekankan pada pengaturan kehamilan dan
pembatasan kelahiran, halmana mengakibatkan semakin eratnya hubungan antara
anggota-anggota suatu keluarga batih yang secara relative kecil jumlahnya.
Dari
sudut atau titik tolak perkembangan kepribadian individual anggota-anggota
keluarga batih, semakin berperannya keluarga batih lebih menguntungkan. Hal ini
disebabkan, oleh karena dengan demikian orang tua ( yakni suami dan istri) akan
dapat memusatkan perhatian yang lebih banyak terhadap anak-anaknya sendiri.
Pendapatan orang tua, misalnya, akan dapat dipusatkan secara penuh untuk
kepentingan anak-anaknya.
Walaupun
demikian kecendrungannya, akan tetapi peningkatan peranan keluarga batih di
Indonesia belum merata. Hal ini disebabkan karena taraf kemajemukan masyarakat
Indonesia yang relative agak tinggi. Masyarakat Indonesia terdiri dari ratusan
suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan khusus dan didasarkan pada cara
menarik harus keturunan tertentu. Penarikan garis keturunan demikian mempunyai
pengaruh timbale balik dengan tradisi bahwa kehidupan berpusat pada keluarga
luas. Tradisi demikian hamper tidak mungkin dihapus, akan tetapi harus
dibiarkan berkembang. Nantinya pasti aka nada faktor-faktor yang mengakibatkan
terjadinya perkembangan kearah meningkatnya peranan keluarga batih.
Disamping
itu tampaknya peningkatan peranan keluarga batih cenderung ada pada lapisan
atas. Pada lapisan menengah perkembangan itu masih menemukan
kesuliatan-kesulitan karena masih dianutnya tradisi secara kuat; demikian pula
halnya dengan lapisan bawah.
A. Keluarga
Batih dan Lingkungan Sosial
Di
luar kehidupan keluarga batih terdapat suatu lingkungan yang biasanya disebut
lingkungan sosial. Secara sosiologis lingkungan sosial mencakup lingkup yang
sangat luas, oleh karena berintikan pada
interaksi sosial.
Di
Indonesia peranan lingkungan sosial tampaknya masih besar apabila dibandingkan
dengan peranan keluarga batih, terutama pada lapisan menengah dan bawah. Bahkan
dapat dikatakan, bahwa faktor-faktor eksternal lebih besar peranannya dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Hal ini tidak saja berkaitan dengan pola
hidup spiritual, akan tetapi juga aspek materilnya. Lingkungan sosial tersebut
secara sederhana dapat dibedakan antara lingkungan pendidikan formal, pekerjaan
dan tetangga.
Lingkungan
pendidikan formal, yakni sekolah, sangat mempengaruhi pola hidup anak-anak.
Sebab, kelompok sepermainan biasanya tumbuh di lembaga-lembaga pendidikan
formal tersebut. Selain dari itu mutu sekolah dan guru-gurunya juga
mempengaruhi perkembangan kepribadian anak-anak. Pola hidup yang berkembang di
sekolah yang dewasa ini terutama memberikan tekanan pada materialism, kemudian
di bawah rumah. Hal ini mungkin dapat menimbulkan berbagai masalah dalam
kehidupan keluarga batih.
Lingkungan
pekerjaan membentuk sebagian kepribadian suami dan istri (ayah dan ibu). Para
suami yang menjadi pegawai negeri, anggota ABRI atau wiraswasta, rata-rata
membawa pola hidup pekerjaan suami sangat mempengaruhinya. Akan tetapi kalau
istri bekerja juga di lain bidang, maka ada kemungkinan terjadi dualisme dalam
keluarga batih, apabila tidak ada usaha penyerasian. Hal ini selanjutnya akan
mempengaruhi pola kehidupan keluarga batih yang bersangkutan. Dari luar secara
sepintas hal itu memang tampak; pola hidup keluarga batih pegawai negeri
berbeda dengan keluarga ABRI dan selanjutnya juga berbeda dengan keluarga
swasta.
Lingkungan
tetangga juga mempunyai pengaruh terhadap pola hidup keluarga batih. Dalam hal
ini perlu dibedakan antara berbagai jenis lingkungan tetangga, sesuai dengan
lokasi pemukiman yang tertutup dan terbuka, yang kemudian dihubungkan dengan
lapisan sosial. Berdasarkan patokan-patokan itu, maka dapat diadakan
penggolongan, sebagai berikut:
1. Lapisan
tebuka
a)
Lapisan tinggi.
b)
Lapisan menengah;
c)
Lapisan bawah.
2. Lapisan
tertutup.
a)
Lapisan tinggi;
b)
Lpisan menengah;
c)
Lapisan bawah.
Menurut
pengamatan sekilas di kota-kota, maka lingkungan tetangga lapisan menegah dan
rendah lebih besar peengaruhnya terhadap pola hidup keluarga batih, apabila
dibandingkan dengan lingkungan tetangga lapisan tinggi. Gejala ini cendrung
lebih banyak dijumpai pada lingkungan tetangga tertutup, yang penduduknya
relative homegen. Sebaliknya peranan kelurga batih semakin besar pada
lingkungan tetangga lapisan tinggi atau atas, yang cendrung berkembang kearah
individualisme.
Dengan
demikian tampaknya lingkungan pendidikan formal mempengaruhi pola hidup
anak-anak ( yang sekolah). Lingkungan pekerjaan sangat mempengaruhi pola hidup
orang tua. Selanjutnya lingkungan tetangga akan mempengaruhi keluarga batih
lapisan-lapisan menegah dan bawah, sedangkan pada lapisan tinggi atau atas
tampaknya pola hidup keluarga batih lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor
intern, sehingga peranan keluarga batih lebih menonjol.
B. Lingkungan
hukum.
Pada
kehidupan keluarga yang lebih menekankan pada segi spiritual, lingkungan hukum
pada umumnya mengikuti perkembangan pola hidup dan mengesankan gejala yang
terjadi. Lingkungan hukum mencakup, antara lain, perundang-undangan, hukum
adat, hukum yurisprundensi (yakni putusan-putusan hakim), traktat ( perjanjian-perjanjian
internasional) dan hukum yang dihasilkan oleh kalangan intelektual hukum (
disebut hukum ilmuan). Dalam tulisan ini pembicaraan hanya akan dibatasi pada
perundang-undangan dan hukum adat saja.
Perundang-undangan
merupakan keputusan penguasa yang remi, bersifat tertulis dan mengikat.
Contohnya adalah, antara lain, undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
presiden, peraturan menteri, keputusan menteri, dan seterusnya.
Perundang-undangan di Indonesia cenderung untuk meningkatkan peranan keluarga
batih dalam masyarakat. Gejala ini tampak, misalnya, dalam perundang-undangan
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menempatkan suami dan istri pada
derajat yang sama. Selanjutnya terdapat aturan-aturan mengenai hak dan
kewajiban orang tua maupun anak-anak. Dalam Undang-undang itu tidak disebutkan
mengenai keluarga-keluarga luas dan perannya. Dalam perundang-undangan lainnya,
misalnya yang berkaitan dengan keluarga berkeluarga, peranan keluarga batih
juga lebih ditekankan daripada keluarga lua.
Hukum
adat merupakan hukum tertulis yang timbuldari masyarakat. Keberlakuannya
ditetapkan oleh masyarakat atau penguasa adat. Di Indonesia terdapat
kemajemukan hukum adat, oleh karena masyarakatpun majemuk. Peranana keluarga
batih menurut hukum adat sangat terantung pada cara-cara menarik garis
keturunan yakni yang sepihak (laki-laki atau wanita) atau dua pihak ( laki-laki
dan wanita). Pada masyarakat-masyarakat yang menarik garis keturunan secara
sepihak peranan keluarga batih relative kecil apabila dibandingkan dengan
keluarga luas. Akan tetapi dewasa ini pengaruh pola hidup kota kadang-kadang
berpenagruh, sehingga peranan keluarga batih semakin meningkat, walaupun
sifatnya masih kasuistis. Sebaliknya pada masyarakat yang menarik garis
keturunan melalui dua pihak, keluarga batih memang diberi peranan yang
menonjol. Yang sangat berperan faktor hubungan dasar hanya dibatasi pada
keluarga batih belaka, yang sudah diwarnai dengan faktor perkawinan.
Perlu
diakui bahwa perundang-undangan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, lebih
banyak dianut oleh warga masyarakat kota. Di wilayah pedesaan hukum adat lebih
banyak dianut, oleh karena hukum adat timbul masyarakat itu sendiri. Kenyataan
menunjukkan adanya gejala itu, walupun secara yuridis hukum adat dapat ditiadakan
( secara formal) oleh perundang-undangan.
C. Pembagian
kerja menurut jenis kelamin.
Pengalaman
pemasyarakatan yang dini itu, dimana anak-anak muda mulai memperoleh
nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka merupakan dasar bagi tingkah
laku dewasa mereka kelak, jika mereka menjadi orang tua dan suami/istri.
Perbedaan dalam peran seks sangat menonjol dalam pembagian kerja menurut jenis
kelamin. Pada semua masyarakat tugas-tugas tertentu diberikan kepada wanita dan
ada yang lainnya pula diberikan kepada laki-laki, dan ada juga yang dapat
dikerjakan oleh kedua-duanya. Sedikit sekali dari pembagian ini diperlukan oleh
kelainan biologis kedua jenis kelamin itu. Seorang laki-laki tidak dapat
melahirkan anak atau merawatnya. Laki-laki lebih kuat dan dapat lari lebih
cepat daripada wanita, yang sebaliknya sewaktu-waktu agak terhalang oleh karena
kehamilan dan menstruasi. Tetapi wanita, cukup mempunyai kekuatan dan kecepatan
untuk mengerjakan hamper semua pekerjaan di tiap masyarakat.
Sama pentingnya pula ialah bahwa apa yang dianggap sebagai pekerjaan
lki-laki pada suatu masyarakat mungkin saja dianggap pekerjaan wanita pada
masyarakat lain, dengan demikian menunjukkan bahwa banyak pembagian itu
ditentukan oleh kebudayaan, atau didasarkan berbagai macam faktor dimana faktor
biologisnya hanya merupakan satu bagian saja. Tetapi, di ¾ atau lebih masyarakat
yang ada datanya, wanita itu mengerjakan tugas-tugas sebagai berikut;
menggiling gandum, mengangkat air, memasak, mengawetkan makanan, membetulkan
dan membuat pakaian, menenun (kain, tilam, dan keranjang-keranjang),
mengumpulkan makanan ( kacang-kacangan, buah-buahan, umbian, dan sebagainya)
dan juga membuat barang-barang dari tanah liat. Semua
tugas itu dapat dilaksanakan dengan tetap tinggal dekat kepada anak-nak dan
tempat tinggal.
Pada kebanyakan masyarakat, laki-laki diberi tugas; mengembala, berburu dan
menangkap ikan, menebang pohon, menambang dan menggali, pandai besi, membuat
alat-alat music, mengerjakan, peralatan upacara, menukang dan membuat rumah. Beberapa
diantaranya memerlukan tenaga, dan ada pula yang menuntut pergi dari tempat
tinggal. Ada pula yang tidak memerlukan baik tenaga ataupun peninggalan tempat
tinggal. Perlu diperhatikan bahwa pemeliharaan tanaman memerlukan ketekunan dan
juga tenaga, tetapi kenyataannya merupakan kegiatan wanita maupun laki-laki.
Bahwa pembagian itu bukan didasarkan atas pertimbangan kemampuan terlihat
dari kenyataan bahwa laki-laki pun dapat mengerjakan semua pekerjaan wanita,
tetapi tidak melakukannya, sedangkan pekerjaan yang khusus merupakan pekerjaan
laki-laki biasanya tidak menuntut seluruh waktunya. Pembagian
pekerjaan tidak didasarkan atas dasar biologis maupun persamaan sederhana. Satu
faktor, penting lagi sebagai suatu unsure dalam kedudukan sang suami, dan
kedudukan laki-laki dalam masyarakat. Apapun tugas khusus laki-laki itu,
kesemuanya dianggap lebih terhormat.
Unsur
ini menggambarkan bahwa pembagian kerja menurut jenis kelamin, di dalam
keluarga dan masyarakat, hamper-hampir mendekati pembatasan suku bangsa dan
kasta di beberapa Negara modern. Yaitu suku, kasta atau jenis kelamin yang
berkedudukan rendah dianggap tidak dapat mengerjakan jenis-jenis pekerjaan
tertentu, tetapi juga akan dianggap melanggar kesopanan jika mereka berbuat demikian.
Jelas jika wanita benar-benar tidak dapat mengerjakan bermacam-macam jenis
pekerjaan pria, tidak perlu ada larangan moral atau etika untuk mencegah mereka
melakukannya.
Dengan gambling dapat dikatakan meskipun tanpa tabulasi yang lengkap, bahwa
tidak ada pada masyarakat manapun bahwa laki-laki dan wanita bebas memilih
pekerjaan yang mereka kehendaki dengan alas an tepat guna, kemudahan dan
kapasitas. Dalam hal ini tidak ada istilah ‘pasaran bebas’. Tambahan pula,
tugas untuk mengendalikan, mengatur, memutuskan sangat menarik para dewa,
pendek kata pekerjaan tingkat tinggi yang biasanya tidak memerlukan tenaga,
kecepatan, atau berpergian jauh dari rumah merupakan pekerjaan laki-laki. Pada
masyarakat primitive atau yang sudah tinggi tingkat perkembangan industrinya,
laki-laki berkebratan wanita mengambil alih pekerjaan tingkat tinggi, dan juga
menolak untuk mengambil alih tugas-tugas
wanita. Hal ini memang terjadi di cian komunis dan sedikit banyak juga dalam
‘kibbutzim’ Israel, sama halnya di AS, meski pun dalam kenyataannya wanita di
beri pekerjaan-pekerjaan penting, di ketiga negeri itu. Pembagian
ini dibenarkan oleh berbagai rasionalisasi dan peraturan-peraturan moral, semua
itu merupakan bagian daripada pengalaman sosialisasi anak laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Sejak dari mula anak laki-laki belajar untuk
merendahkan beberapa macam pekerjaan sebagai pekerjaan kewanitaan, dan
memandang tinggi kepada yang lainnya sebagai kajantanan.
D. Pembagian
Peran Suami Istri dalam Mendidik Anak.
Dalam
sistem patriarki, pembagian peran dalam rumah tangga dibebankan secara timpang
kepada perempuan, diantaranya dengan pembenaran atas “naluri keibuan”. Beberapa
akibatnya adalah banyak anak yang kehilangan keakraban dengan ayahnya, karena
si ayah beranggapan bahwa mengasuh anak adalah “melawan kodratnya” sebagai
laki-laki.
Akibat yang lain, karena diyakini bahwa kualitas anak adalah tanggung jawab
ibi, apabila sewaktu-waktu muncul masalah dengan anak, pihak suami terburu-buru
mengambinghitamkan kaum wanita, istri, dan ibu selaku penanggung jawab
utamanya. Padahal sesunngguhnya, seperti halnya
wanita mempunyai naluri keibuan, pria pun memiliki naluri kebapakan. Naluri
kebapakan inilah yang memungkinkan seorang pria peduli pada tugas-tugas
kerumahtanggaan. Seorang ayah pun bisa memandikan bayi, mengganti popok bayi
dan mencucinya, menyiapkan makan untuk istri dan anaknya, dan sebagainya.
Dalam
ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW, memberikan contoh teladan bahwa Nabi dan para
sahabatnya terbiasa menambal kasur, berbelanja kepasar, dan mencuci pakaian
hingga memasak jika perlu.
Dengan
naluri kebapakan inilah seorang suami dapat membantu meningkatkan kualitas
keluarganya. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosional dan penerimaan
atas kehamilan istrinya akan membantu sang istri mengatasi perubahan fisik dan
emosionalnya. Begitu pentingnya peran aktif ayah dalam keluarga, sampai-sampai
di Negara Skandinavia seorang ayah bahkan berhak atas cuti melahirkan.
Kualitas
tumbuh kembang anak pun meningkat dengan peran aktif ayah di rumah. anak
membutuhkan orang tuanya sebagai objek ikatan batin agar ia tumbuh kembang
secara wajar. Selain ibu, ayah pun menjadi teman yang menyenagkan bagi anak
adan mempunyai kedekatan betin dengannya. Artinya anak mempunyai objek ikatan
batin yang lengkap
Selnjutnya,
partisipasi aktif ayah dalam rumah tangga pada gilirannya akan meningkat
kulitas keluarga secara keseluruhan. Partisipasi ayah akan memabantu
memperkecil beban peran ganda istri sehingga istri dapat memperhatikan hal-hal
lain, termasuk dirinya sendiri. Akibatnya, tingkat kepuasan istri lebih tinggi
yang pada gilirannya akan memperbaikai kualitas hubungannya dengan suami.
Hubungan suami dengan istri bisa
dibedakan menjadi empat macam pola.
1. Hubungan
pemilik harta miliknya, yang secara financial maupun emosional, istri dianggap
sebagai milik suami.
2. Hubungan
atasan bawahan, yang secara tegas dibedakan bahwa peran suami di sector public,
istri di sector domestic.
3. Hubungan
senior jenior.
4. Hubungan
“ mitra sejajar”.
Setiap
hubungan ini membawa kondisi tertentu dalam membagi peran dalam keluarga. Ada kecendrungan, pola
hubungan suami istri sedang mengalami transisi menuju pola hubungan mitra
sejajar. Pada saat ini pola hubungan suami saat ini masih senior jenior dan
belum sepenuhnya merupakan hubungan mitra sejajar. Manifestasi dari pola
hubungan senior-yunior menunjukkan bahwa suami masih menduduki posisi sebagai
pencari nafkah utama ( meskipun penghasilan istri lebih besar dari pada suami)
dan pengambil keputusan. Walaupun istri bekerja, bila ada masalah dengan anak, wanita lebih dituntut untuk
menyelesaikannya. Isteri menerima peran ini, karena sudah ditanamkan kepadanya
untuk mengutamakan anak daripadapekerjaan, sedangkan suami merasa wajar saja
bersikap demikian karena dalam dirinya telah tertanam bahwa suami layak
mengutamakan pekerjaan dari pada urusan rumah tangga.
Namun,
kemitrasejajaran pun bukan hanya sekedar membolak-balikkan peran
domestic-publik antara suami dan isteri. Membolak-balik perilaku peran sekarang
ini lebih mudah karena banyak fungsi keluarga yang bisa dijalankan oleh
pembantu rumah tangga, baby sster, catering atau restoran, kelompok bermain,
dan sebagainya. Teknologi saat ini pun menawarkan peralatan elektronik, bahan
kimia sampai bahan makanan yang menyederhanakan tugas-tugas rumah.
Karakteristik
kemitrasejajaran terletak pada sikap dalam memandang pembagian peran di antara
suami dan istri dalam mendidik. Membicarakan kemitrasejajaran, berarti
membicarakan bagaimana bisa terjadi perubahan sikap pria dan wanita, baik
terhadap pasangannya maupun terhadap dirinya sendiri. Bersikap sebagai mitra
sejajar, berarti memandang pembagian peran di luar maupun di dalam rumah
sebagai sesuatu yang terbuka untuk dinegoisasikan dengan suami/istri. Itulah
artinya”sejajar”. Dalam kemitrasejajaran, seorang istri menrupakan cara dalam
memberikan perhatian, cara berkomunikasi, dan bukan karena kewajibannya.
Demi
kelancaran pembagian peran dalam keluarga, terutama dalam mendidik anak,
diperlukan sebuah negoisasi terlebih dahulu. Negoisasi ini seyogianya mulai
dilakukan sebelum menikah. Sebelum menikah, pasangan perlu menyepakati terlebih
dahulu pola hubungan seperti apa yang akan diterapkan dalam mengelola kehidupan
keluarga dan pendidikan anaknya. Hal ini karena perkawinan pada intinya adalah
membuat komitmen. Untuk melakukan negoisasi, calon pasangan perlu mengenal dirinya
sendiri. Dengan demikan, ia lebih mudah mengetahui apa yang ia inginkan dari
pasangannya.
Kelenturan
dan keseimbangan pembagian peran suami ostri tidak hanya menghadapi sikap
pasangan rumah,tetapi juga lingkungan yang lebih luas di luar rumah, misalnya di
tempat kerja. Sebagai contoh, jika seorang anak sakit, kadang-kadang suami
berusaha untuk memabantu atau bergantian dengan istri menjaga anak sakit,
ataupun mengasunya ketika istri bertugas ke luar kota. Masalah seprti ini tidak
hanya terjadi di Indonesia. Di Negara maju seperti Amerika pun, peran ibu rumah
tangga dianggap using dan tidak sophisticated. Anggapan semacam ini yang
didukung faham individualism yang merebak di era modern membuat banyak pasangan
yang mengabaikan keluarga semata-mata demi sukses kariernya di luar rumah.
Akan
tetapi, di Negara maju lainnya, seperti Jepang, ibu rumah tangga memainkan
peran yang amat penting dan sangat terhormat. Wanita yang memilih berhenti
bekerja untuk mendidik anaknya di rumah, mendapat hak cuti selama 1 samapai 6
tahun. Pemerintah Jepang memberikan keringan kredit kepada perusahaan yang
member cuti model begini bagi karyawatinya.
Pembagian
peran dalam mendidik antara suami istri dalam kenyataannya banyak menghadap
kendala muncul secara cultural dari lingkungan kerja yang tidak mendukung. Oleh
karena itu, dalam pemabagian peran mendidik anak, perlu adanya negoisasi
antarkeduanya agar pembagian peran berjalan seimbang. Hal ini hanya akan
tercapai dalam pola hubungan suami istri yang sejajar. Model pembagian peran pendidikan
anak, dapat dilakukan oleh suami istri dengan cara proaktif da tidak hanya
reakti menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar